Selasa, 30 April 2013

masih tentang kampungku lagi


Wisata Religi di Bandung
Menyambangi Kampung Adat Mahmud
Menyambangi Kampung Adat Mahmud
KORAN JAKARTA/TEGUH RAHARDJO
Setiap kali Idul Fitri, sejumlah tempat ziarah di Bandung dan sekitarnya selalu ramai dikunjungi masyarakat. Beberapa tempat bahkan rutin dikunjungi karena tempat ziarah itu terdapat makam tokoh atau sesepuh yang dianggap memiliki kharisma atau kedekatan dengan raja-raja terdahulu yang membawa Agama Islam masuk ke Indonesia.

Jadi selain berziarah, kedatangan ke makam tersebut juga untuk mengingatkan kembali sejarah perkembangan Islam di Tanah Air, khususnya di Pulau Jawa. Di wilayah selatan Bandung, tepatnya di Kopo, terdapat sebuah lokasi perkampungan unik.

Perkampungan yang disebut Kampung Mahmud itu mirip dengan kampung adat Sunda yang ada di sejumlah tempat di Jawa Barat (Jabar). Seperti kampung adat di Kampung Pulo, Kabupaten Garut.

Kampung Mahmud, tepatnya berlokasi di Kecamatan Mekar Rahayu, Kabupaten Bandung. Terletak di pinggir Sungai Citarum, tidak jauh dari Komplek Perumahan Margahayu Permai ke arah selatan, dapat dicapai oleh kendaraan sekitar 10 menit. Malahan kini bisa dicapai dari Kota Bandung dengan angkutan kota berwarna kuning, hingga sampai di lokasi Pasar Mahmud.

Anda juga dapat menggunakan jasa ojek. Pangkalan ojek berada tepat di pintu masuk pinggir Jalan Kopo, tepatnya di samping jembatan besar Sungai Citarum, akan membantu mengantar menuju lokasi. Jika menggunakan ojek, Anda akan menyusuri pinggir Sungai Citarum. Setibanya dilokasi, sebuah gapura sederhana akan menyambut.

Saat memasuki komplek kampung adat tersebut, akan mulai terasa perbedaannya, terutama dari bangunan rumah penghuninya. Rumah di kampung ini dibangun dengan struktur rumah panggung, hanya sekitar 50 cm dari permukaan tanah.

Dinding bangunan rumahnya pun terbuat dari bilik bambu dan papan kayu. Beberapa pondasi menggunakan beton dan tembok bata. Lokasi rumah yang mendekati Makam Mahmud (tertulis: Makom Mahmud) akan semakin terlihat sangat tradisional. Salah satu kekhususan pada rumah di kampung Mahmud adalah tidak diperbolehkannya memasang kaca pada jendela.

Jadi jendela itu hanya dihalangi oleh ram kawat atau anyaman bambu dan teralis kayu saja. Namun saat ini, dari kunjungan terakhir pekan lalu, meski rumah terbuat dari bilik bambu, nampak sejumlah kendaraan keluaran terbaru terparkir di halaman rumah-rumah tersebut. Barang elektronik seperti tape dan televisi pun sudah tidak asing lagi bagi warga kampung tersebut.

Ada dua masjid dalam komplek kampung adat ini. Satu berlokasi di bagian dalam, berdempetan dengan rumah kuncen. Masjid cukup luas, dan seperti halnya bangunan rumah, terbuat dari biliki bambu dan tanpa jendela.

Berbeda dengan masjid yang berlokasi agak jauh dari makam, masjid ini nampak lebih modern. Meski tetap menggunakan dinding bilik bambu. Pusat kampung adat ini sendiri berada pada makam tokoh RH Abdulmanap, salah satu keturunan dari Bupati Bandung (1645 – 1725 M).

Pada masanya, seperti dikutip dari berbagai sumber, Abdulmanap yang kemudian dipanggil Mahmud merupakan penguasa wilayah tersebut. Gapura kecil bertuliskan Makom Mahmud menjadi pintu masuk ke lokasi makam tersebut.

Puluhan bahkan ratusan masyarakat akan berziarah ke makam setiap malam Jumat, atau malam-malam pada bulan Mulud, Rajab dan Ramadan hingga Idul Fitri. tgh/R-2

Lintasan Sejarah Tentang Penguasa Wilayah

Tepat di depan gerbang masuk makam, sebuah rumah adat dihuni oleh kuncen atau penunggu makam. Berdasakan cerita singkat dari kuncen tersebut, Kampung Mahmud sering didatangi peziarah karena tanah kampung itu sudah bercampur dengan tanah dari Mekah, Arab Saudi. Konon, RH Abdulmanap, penguasa wilayah setempat, pernah menunaikan ibadah haji.

Ketika hendak kembali ke Bandung, ia membawa segenggam tanah dari pelataran Ka'bah. Setibanya di kampung, tanah suci itu kemudian disebarkan di beberapa lokasi kampung. Lalu kampung itu pun diberi nama Kampung Mahmud.

Setelah kampung itu diberi nama Mahmud, tempat ini berkembang menjadi salah satu Pusat Pelajaran Spiritual Islam terkenal di Tatar Sunda, sekaligus menjadi sebuah tempat perlindungan tokoh-tokoh perjuangan dari ancaman kolonial Belanda saat itu. Setelah wafat, RH Abdulmanap dikebumikan di bawah pohon beringin yang rindang.

Pohon yang sudah berusia ratusan tahun itu masih berdiri kokoh di samping makam. Selain makam yang sering dikunjungi, salah satu penanda sejarah berdirinya kampung adat tersebut adalah sebuah batu atau tugu. Tugu ini dibangun untuk menandai bahwa kawasan Mahmud sebagai daerah "suci" seperti halnya Mekah dan Medinah.

Tugu yang tingginya sekitar 50 cm itu berbentuk kuncup. Tugu tersebut kini dilestarikan dengan didirikannya sebuah bangunan tertutup dan terkunci, dikelilingi dengan pagar besi yang cukup tinggi dan beratap. tgh/R-2

Perlu Perbaikan Akses ke Lokasi

Kampung Adat Mahmud sebenarnya merupakan kawasan yang cukup unik. Perkampungan ini sangat berbeda meski dikelilingi oleh perumahan modern, namun tradisi kesederhanannya masih tetap terpelihara.

Kondisi ini sebenarnya dapat menjadikan lokasi perkampungan sebagai salah satu lokasi wisata religi di Bandung. Namun untuk mencapainya masyarakat memang masih merasa kesulitan, terutama karena akses jalan yang sempit dan keterbatasan sarana angkutan umum.

Pemerintah setempat, khususnya Kabupaten Bandung diharapkan dapat lebih memperhatikan keberadaan kampung adat ini terutama akses infrastrukturnya.

Meski demikian, pengembangan infrastruktur juga tidak boleh merubah adat atau tradisi dari Kampung Mahmud. Karena mereka masih memegang teguh tradisi ditengah semakin majunya teknologi.

Perkembangan prasarana penunjang bagi pengunjung dapat dilakukan di luar komplek perkampungan. Karena biasanya peziarah datang dari tempat yang cukup jauh, sehingga memerlukan sarana penginapan yang memadai. tgh/R-2

masih tentang kampungku


Selayang Pandang Makom Kampung Mahmud Chigondewan Bandung Jawa Barat

Sejarah Kampung Mahmud
Kampung Mahmud, salah satu kampung yang ada di Desa Mekarrahayu Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung, merupakan kampung yang masyarakatnya masih memegang teguh adat-istiadat warisan nenek moyangnya. Hal itu terwujud dalam berbagai kehidupan sehari-hari, dengan adanya berbagai larangan yang bersifat sakral ‘tabu atau pantangan’ yang dipegang teguh oleh masyarakat secara turun temurun dan relatif terjaga keasliannya.
Kampung Mahmud secara administratif termasuk ke dalam wilayah Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung. Dalam organisasi pemerintahannya, Desa Mekarrahayu ini terdiri atas 16 RW sedangkan lokasi Kampung Mahmud terletak di sebelah barat pusat pemerintahan desa. Adapun Desa Mekarrahayu sendiri terletak di sebelah selatan pusat pemerintahan kecamatan.
Desa Mekarrahayu dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum (angkot) jurusan Kampung Mahmud dari Terminal Tegallega., melalui alur jalan Tegallega, By Pass, Holis, Cigondewa, dan Kampung Mahmud.
Lokasi Kampung Mahmud memang agak terpencil dari kampung-kampung lainnya, baik kampung yang berada di wilayah desa maupun yang berada di luar desa. Kemudian letaknya pun di pinggir Sungai Citarum yang sekaligus sebagai batas wilayah dengan desa lainnya.
Luas Desa Mekarrahayu sekitar 299.664 ha. dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
• sebelah utara berbatasan dengan Desa Rahayu dan Desa Cigondewah;
• sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pameuntasan dan Daraulin;
• sebelah barat berbatasan dengan Desa Nanjung;
• sebelah timur berbatasan dengan Desa Margahayu.

Keadaan Alam
Keadaan permukaan tanah di Desa Mekarrahayu terdiri atas daratan dan pesawahan, dengan rincian: tanah perumahan dan pekarangan sekitar 123.630 ha. tanah pesawahan 136.925 ha, dan tanah pertanian kering, ladang, serta tegalan sekitar 39.109 ha. Melihat kondisi tanahnya dapat dikatakan cukup subur dengan hasil bumi yang melimpah, dalam arti dapat memenuhi kebutuhan warga setempat tanpa harus mendatangkan dari luar. Selain itu, di sekitar kampung terdapat banyak pohon bambu yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk anyaman seperti bilik dan alas lantai ‘palupuh’.
Selain tanahnya yang cukup subur, khusus untuk Kampung Mahmud daerahnya hingga tahun 1980-an belum terpolusi oleh limbah industri, kecuali air Sungai Citarum yang mengalir di sebelahnya.
Namun kini, masyarakat Kampung Mahmud tidak lagi concern terhadap tabu yang dahulu dipegang erat. Hal itu terbukti dengan mulai adanya industri rumah tangga yang mengelola barang-barang bekas seperti yang ada di daerah Cigondewah. Dahulu, air Sungai Citarum menjadi satu-satunya sumber air untuk keperluan hidup masyarakat, tetapi sekarang setelah air tercemar, sumber air itu adalah seke dan sumur.
Sungai Citarum kini hanya dipergunakan sebagai sumber air untuk pertanian belaka. Dengan perkembangan jaman dan keperluan perluasan wilayah pemukiman dan perluasan areal di sektor ekonomi, maka Kampung Mahmud sudah mulai terbuka. Bahkan alur Sungai Citarum yang semula melingkar mengelilingi perkampungan Mahmud, kini dengan program prokasih sungai ini diluruskan, sehingga tidak lagi mengelilingi Kampung Mahmud. Jalan hotmix menuju Kampung Mahmud tampak mulus dan kendaraan roda empat sudah sangat banyak hilir mudik memasuki perkampungan ini. Mobilitas penduduknya pun sangat tinggi dengan adanya angkutan yang menuju jurusan kampung ini.

Sejarah Pertumbuhan Kampung
Pada abad 15 Eyang Abdul Manaf pergi ke Mekah. Setelah beberapa lama bermukim di sana, ia ingin pulang ke negerinya. Ia pun memohon petunjuk kepada Yang Kuasa agar dapat kembali ke wilayah yang tidak akan diinjak oleh penjajah (Belanda). Sebelumnya ia telah mendapat firasat bahwa negerinya akan dijajah bangsa asing.
Selama di Mekah, ia berdoa di Gubah Mahmud, dekat Masjidil Haram. Dalam do’anya, ia mendapat ilham bahwa nanti akan menemukan tanah rawa, di sanalah tempat tinggalnya. Ketika pulang, ia pun mencari tanah berawa-rawa dan ditemukanlah tanah rawa yang ternyata lokasinya dekat Sungai Citarum. Selanjutnya daerah rawa tersebut ditimbun dan Sungai Citarum dibelokkan, sehingga mengitari daerah yang akan dijadikan tempat tinggal.
Daerah tersebut dijadikan tempat persembunyian ketika Belanda menjajah. Pada saat itulah ia mengeluarkan larangan kepada masyarakatnya, bahwa :
• membuat rumah jangan yang bagus, tidak bertembok dan berkaca
• tidak memelihara soang ‘angsa’
• tidak boleh membunyikan goong.
Semua tabu yang diterapkan dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menyembunyikan diri dari Belanda. Jadi tidak memperlihatkan diri dari segala bentuk tampilan, baik keadaan rumah maupun suara. Di samping itu, Eyang Abdul Manaf sebagai seorang wali tasawuf menyarankan bahwa tidak boleh hidup dengan kemewahan duniawi. Selain itu, ketika Eyang Abdul Manaf mengubah tempat itu sebagai tempat tinggal, ia menanam tanah haram yang dibawa dari Gubah Mahmud. Setelah tanah itu ditanam, air tanah menjadi kering sama sekali. Jadi segala kebutuhan hidup akan air didapat dari Sungai Citarum. Untuk selanjutnya, karena tanah haram yang dibawanya telah ditanamkan di daerah ini, maka daerah itu oleh Eyang Abdul Manaf dinamakan Kampung Mahmud, sesuai dengan nama tempat di mana tanah itu diambil.
Setelah lama menetap di kampung Mahmud, Eyang Abdul Manaf mempunyai 7 orang putra, yaitu Eyang Sutrajaya, Eyang Inu, Eyang Mahmud Iyan, Eyang Aslim, Eyang Kiai H. Zaenal Abidin, Kiai H. Muhamad Madar, dan H. Amin. Semua keturunannya itu menjadi tokoh agama atau ulama di sekitar Bandung, dan mempunyai pondok-pondok pesantren yang menjadi kiblat pesantren di Bandung dan sekitarnya.

Pola Pemukiman
Masyarakat Kampung Mahmud berkeyakinan, bahwa kampungnya merupakan warisan dari para leluhur, yang harus dipelihara berdasarkan ketentuan adat-istiadat yang telah dibakukan. Oleh karena itu, mereka tidak berani melanggar atau mengubahnya, seperti tidak boleh menabuh goong besar maupun goong kecil, rumah tidak memakai kaca, dan memelihara angsa.
Perkampungan masyarakat Kampung Mahmud tidak jauh berbeda dengan perkampungan masyarakat Sunda tradisional lainnya, Seperti Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Urug di Kabupaten Bogor, Kampung Dukuh di Kabupaten Garut, dan Kampung Baduy di Kabupaten Lebak, yaitu bersifat mengelompok. Letak rumah mereka berderet dan berjajar saling berhadapan di sepanjang jalan desa atau kampung. Di sebelah barat perkampungan terdapat Mesjid Ageung Kampung Mahmud, dan di halaman depannya terhampar lapangan luas sebagai halaman atau Buruan tempat anak-anak bermain. Di sebelah timur dan di ujung barat perkampungan terdapat Makam Keramat Leluhur Kampung Mahmud, yaitu Makam Eyang Gedug, Eyang Abdul Manaf dan Eyang Ageung Zaenal Arif.
Bentuk bangunan rumah berupa panggung dengan bahan-bahan yang terbuat dari Bambu dan kayu. Adapun atap rumah bertipe jolopong yaitu suhunan panjang dan dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang disebut bilik, lantai rumah terbuat dari kayu yang disebut balagbag. Setiap tiang penyangga rumah disangga dengan batu yang disebut tatapakan,. Tangga untuk naik ke dalam rumah terbuat dari kayu atau bambu yang disusun rapi disebut golodog.
Bagian tengah rumah biasanya disebut tengah imah merupakan bagian ruangan yang cukup besar yang digunakan untuk kepentingan tertentu sepeti menerima tamu pada peristiwa selamatan. Dalam ruangan tersebut terdapat seperangkat kursi tamu lengkap dengan mejanya dan alat rumah tangga lainnya, seperti lemari, radio transistor, TV, hiasan dinding sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Kependudukan
Penduduk Desa Mekarrahayu berdasarkan monografi desa berjumlah 13.493 jiwa , yang terdiri atas laki-laki 6.893 orang dan perempuan 6.600. Jumlah penduduk tersebut terbagi ke dalam 2.732 kepala keluarga.
Ditinjau dari segi pendidikan, masyarakat Desa Mekarrahayu dapat dikatakan cukup baik, karena sekarang ini anggota masyarakatnya sudah ada yang dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Khusus untuk Kampung Mahmud, hal itu sifatnya masih minoritas, karena mayoritas adalah tamatan SD. Jenjang pendidikan yang ditempuh bermacam-macam, ada yang masuk lembaga formal, seperti SD, SLTP, SLTA, bahkan ke perguruan tinggi. Akan tetapi, ada pula yang melanjutkan pendidikan ke lembaga informal lainnya seperti pesantren.
Penduduk Desa Mekarrahayu, mayoritas beragama Islam, dan sisanya menganut agama Protestan, Katholik, dan Hindu. sehingga tempat peribadatan untuk mereka yang beragama Islam sangat diperhatikan oleh pemerintah dan tokoh masyarakat setempat. Saat ini, di Desa Mekarrahayu terdapat masjid sebanyak 17 buah dan langgar 62 buah.
Mata pencaharian penduduk bermacam-macam, mulai dari pegawai negeri, ABRI, pedagang / wiraswasta, buruh, petani, pensiunan, dan lain-lain. Khusus penduduk Kampung Mahmud, yang saat ini telah terpengaruh oleh roda jaman, maka penduduknya yang dahhulu bermatapencaharian sebagai petani, baik di sawah maupun ladang, kini mereka lebih tertarik pada matapencaharian di luar bertani. Banyak di antara mereka yang beralih profesi dari petani ke profesi sebagai pedagang, bahkan di dalam Kampung Mahmud tersebut kini telah berdiri home industry yang mendaur ulang barang rongsokan menjadi aneka ragam kerajinan.

Kehidupan Sosial Budaya
Pola kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Mekarrahayu, pada umumnya tidak jauh berbeda dengan pola kehidupan sosial budaya masyarakat Sunda, khususnya masyarakat Sunda pedesaan di wilayah Kabupaten Bandung. Adapun warga Kampung Mahmud, yang mempunyai latar belakang sejarah yang berbeda dengan kampung lainnya, beranggapan bahwa Kampung Mahmud merupakan cikal bakal masyarakat di sekitarnya yang berasal dari keturunan Sembah Eyang Abdul Manaf sebagai penyebar ajaran Islam. Unsur-unsur ajarannya banyak mewarnai pola kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Warga masyarakat Kampung Mahmud adalah penganut Islam yang taat menjalankan ajarannya, namun dalam kehidupan sehari-hari, unsur-unsur tradisi budaya Sunda mewarnai pola kehidupan mereka. Di sini terjadi semacam fusi antara kedua unsur yang sangat berbeda. Di satu pihak ajaran Islam melekat dengan kental, di pihak lain unsur budaya Sunda ‘tradisional’ pun tak kalah memberikan nuansa kehidupan mereka. Misalnya, tata cara kehidupan yang berkaitan dengan pembangunan rumah, di mana adat Sunda sangat dominan memberikan warna dan nuansanya. Sehingga adanya semacam ‘perkawinan’ antara kebiasaan secara tradisional dengan ajaran agama Islam.
Sistem kepemimpinan pada masyarakat Desa Mekarrahayu berada di bawah kepemimpinan formal, yaitu dipimpin oleh seorang kepala desa berserta aparat pemerintahannya. Kepemimpinan formal ini mempunyai peranan dalam menanamkan disiplin, menjaga keamanan dan ketertiban, kebersihan lingkungan, keindahan, termasuk menjaga keselarasan hubungan antara adat istiadat dengan aturan pemerintah.
Adapun di Kampung Mahmud, selain terdapat kepemimpinan formal, di bawah pimpinan ketua RW dan RT beserta aparatnya, juga dikenal pimpinan informal seperti tokoh masyarakat dan tokoh agama. Peranan mereka sangat dominan dalam kehidupan masyarakat di kampung tersebut.. Mereka mempunyai peranan dalam membina kepercayaan dan melestarikan adat kebiasaan terutama dalam melakukan gotong royong untuk kepentingan bersama, seperti merawat makam Karomah atau sarana-sarana umum lainnya. Para sesepuh juga merupakan tempat bertanya bagi mereka yang mempunyai masalah, baik individu, keluarga, maupun kelompok, terutama yang bertalian dengan leluhur mereka.
Kesenian yang terdapat di Kampung Mahmud kurang berkembang bila dibandingkan dengan perkembangan kesenian di kampung lainnya di sekitar Kampung Mahmud itu sendiri. Hal itu bukan berarti mereka tidak menyukai kesenian, akan tetapi mereka sangat patuh pada aturan-aturan yang berlaku. Di samping itu, adanya tabu untuk memukul goong membuat jenis kesenian yang ada terbatas sekali, yakni genjringan dan kasidahan.

Sistem religi
Ada tiga elemen khusus yang bertalian dengan sistem religi bagi suatu kelompok bangsa, yaitu :
1. emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia berlaku serba religius
2. sistem kepercayaan atau bayang-bayang manusia tentang bentuk dunia, alam gaib, maut, dan sebagainya
3. sistem-sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib dan kelompok keagamaan yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara keagamaannya.
Dalam suatu agama selalu ada dua hal pokok yang dapat diamati, yaitu apa yang harus dipercayai oleh penganutnya dan apa yang harus dikerjakan oleh penganutnya. Dalam hal agama, masyarakat Kampung Mahmud penekanannya pada apa yang harus mereka percayai, bukan pada apa yang harus mereka kerjakan. Ketaatan masyarakat Kampung Mahmud dalam beragama, tercermin dalam hasrat mereka untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Terkadang mereka mengorbankan harta yang ada dengan menjual kekayaan untuk memenuhi niat tersebut. Demikian pula halnya dengan status haji, di masyarakat Kampung Mahmud status tersebut mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat. Orang yang telah menunaikan ibadah haji, berganti panggilan menjadi ibu haji atau bapak haji.

Pola kehidupan beragama pada masyarakat Kampung Mahmud trercermin pula dalam kebiasaan memuliakan bulan yang bertalian dengan hari-hari besar agama Islam, misalnya bulan Mulud, bulan Ramadhan, bulan Muharam, dan Idul fitri atau Idul Adha. Peringatan hari-hari besar Islam itu ditandai dengan hajat. Saling mengirim makanan berupa nasi dan lauk pauk, terutama kepada orang tua, mertua, dan akhirnya kepada tetangga. Terlebih lagi sebelum dan saat Idul Fitri, tampak orang-orang membawa susunan rantang yang berisikan makanan menuju ke rumah orang tua.
Pada hakekatnya, masyarakat Kampung Mahmud sangat percaya kepada Karuhun atau leluhurnya. Hal itu masih terlihat dan melekat dalam setiap gerak kehidupannya. kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa membaur dengan kepercayaan terhadap Karuhun. Situasi demikian berpengaruh pula pada masyarakat luar di sekelilingnya. Hal itu tampak pada banyaknya pendatang yang bermaksud ziarah ke makom karomat yang ada di Kampung Mahmud, dengan maksud-maksud tertentu. Para peziarah itu, selain berdoa dan bersyukur kepada Tuhan, juga tak lupa berdoa dan berharap kepada karuhun dengan meminta berkah keselamatan.
Makam Karomah yang ada di Kampung Mahmud itu adalah :
• Makam Eyang Abdul Manaf
• Makam Sembah Eyang Dalem Abdullah Gedug
• Makam Sembah Agung Zaenal Arif
Makam-makam tersebut sering diziarahi, bahkan oleh orang-orang yang ada di luar Kampung Mahmud.
Kebiasaan untuk menziarahi makam tersebut berlangsung setiap hari, kecuali hari Jumat karena dipercaya sebagai hari ibadah,. Setiap makam dijaga oleh Kuncen yang berbeda, dan di dalam kompleks tersebut disediakan tempat untuk sembahyang atau tafakur ‘tapa’ dan berwudlu.

Tabu atau Pantangan
Dalam kepercayaan masyarakat Kampung Mahmud, tabu atau pantangan merupakan suatu prinsip yang selalu dipegang teguh. Selain karena tabu merupakan suatu usaha untuk menghindarkan diri dari suatu perbuatan tertentu yang berdampak negatif, jika yang ditabukan itu dikerjakan pun diyakini akan berakibat kurang baik.
Pantangan atau tabu merupakan penerapan hukum yang tertua di dalam kehidupan manusia, dan dengan mentaati pantangan itu pulalah masyarakat dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (Singgih Wibisono, 1972 :3). Dalam kehidupan masyarakat Sunda pada umumnya, pantangan atau tabu ini dikenal dengan sebutan cadu atau pacaduan. Khususnya bagi masyarakat Kampung Mahmud, pacaduan ini masih sangat dipercayai dan dipatuhi. Pantangan adalah hukum sosial yang dipaksakan secara sakral, serta mempunyai sangsi dalam kehidupan masyarakat bila terjadi pelanggaran. Agar pantangan tersebut tetap dikenal dan dipatuhi oleh segenap warga masyarakatnya, maka harus ada petugas yang cukup berwibawa dan dihormati oleh seluruh warga pendukungnya sebagai pemegang otoritas. Di Kampung Mahmud ini, pemegang otoritas tersebut berada di pundak sesepuh atau Kuncen. Oleh karena itu tabu atau pantangan tersebut merupakan salah satu wujud dari sistem religi yang biasanya bersumber dari sistem kepercayaan masyarakat tersebut. Dengan demikian, kekuatan pantangan atau tabu tersebut terletak pada kesakralannya.
Menurut para informan Tabu di Kampung Mahmud memiliki kekhasannya, yakni dikaitkan dengan adat istiadat bukan dengan masalah agama. Adat istiadat ini terlahir dari warisan nenek moyang mereka yang pernah diucapkan oleh Eyang Abdul Manaf.
Tabu-tabu yang pernah diucapkan leluhur tersebut adalah, Tidak boleh membuat rumah dari bahan material tembok (permanen), Tidak boleh membangun rumah dengan menggunakan kaca, Tidak boleh menabuh goong, Tidak boleh memelihara atau berternak angsa, Tidak boleh membuat sumur.
Dinamika perkembangan pola kehidupan masyarakat Kampung Mahmud ternyata tidak statis, mereka lebih dinamis dalam mengikuti perkembangan jaman dan arus informasi yang terus mendesaknya. Hal itu disebabkan sikap moderatnya seorang sesepuh yang dalam hal ini dipegang oleh H. Amin, menyababkan hal-hal yang bersifat tabu itu kini mulai dikikis. Pengikisan tabu yang digulirkan ini tidak berarti bahwa tabu yang ada harus dilanggar, melainkan adanya paradigma baru bahwa tabu yang tidak masuk akal ‘irasional’ tidak perlu dipertahankan, melainkan dicoba untuk dirasionalkan.
Rasionalisasi dan pengejawantahan tabu-tabu yang berlaku selama itu, kini dikembangkan dalam suatu usaha pemahaman bagi masyarakat Kampung Mahmud untuk mengerti permasalahan yang sebenarnya.
Permasalahan itu tiada lain adalah bahwa sejarah mengenai lahirnya tabu-tabu itu disebabkan kondisi pada waktu itu yang sangat memungkinkan untuk tidak melaksanakan atau melakukan sesuatu seperti halnya yang ditabukan.
Kampung Mahmud yang terletak pada suatu delta Sungai Citarum, sesuai dengan sejarah perjalanan pembentukan perkampungan itu, Kampung Mahmud merupakan suatu bentukkan dari tanah rawa yang kemudian diurug menjadi suatu pelataran dan lahan untuk perkampungan. Keadaan tanah yang labil itu tidak memungkinkan untuk membangun rumah dari bahan material tembok (bahan-bahan berat, seperti tembok dan genting) yang memungkinkan hanya rumah panggung terbuat dari bahan material bambu dengan atap rumbia, ijuk , atau alang-alang (bahan-bahan ringan).
Berdiri dan mulai tumbuhnya Kampung Mahmud berjalan pada masa kolonial Belanda, dalam sejarahnya disebutkan bahwa pendiri Kampung Mahmud tidak mau diinjak oleh kolonial Belanda atau penjajah. Sehingga sangat memungkinkan pendiri itu berdiam di suatu tempat yang tersembunyi, tidak berisik dan tidak ramai. Oleh karena itu, cukup wajar apabila tabu-tabu yang berkaitan dengan terganggunya suasana ketentraman agar tidak terusik disosialisasikan pada waktu itu.
H. Amin memberikan gambaran bahwa rasionalisasi tabu yang melarang penduduk memelihara angsa itu adalah adanya angsa menunjukkan adanya kehidupan manusia yang memeliharanya. Maka angsa pada waktu itu tidak boleh dipelihara orang, agar Belanda tidak mencurigai bahwa di kampung itu tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan manusia. Begitu pula dengan penggunaan kaca pada rumah, kemungkinan daerah itu merupakan daerah pusat magnet. Sehingga apa yang dikatakan oleh H. Amin sampai sekarang, penduduk Kampung Mahmud belum berani memasang kaca pada rumahnya. Hal itu disebabkan sering terjadi hal-hal aneh yang menyebabkan penduduk merasa takut untuk yang satu ini.
Pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, salah seorang penduduknya datang kepada H. Amin untuk meminta persetujuan ‘tawasul’ bahwa dia akan mempergunakan kaca untuk jendela rumahnya. Apa yang terjadi, setelah kaca rumah selesai terpasang, kaca itu rontok (pecah) dengan sendirinya. Dan hal itu telah berulang hingga beberapa kali. Namun kini masyarakat Kampung
Mahmud sudah berani mempergunakan kaca sebagai asesoris rumahnya. Dan dewasa ini sudah banyak rumah yang berdiri dengan megahnya bahkan ada yang berlantai dua dengan mempergunakan bahan material tembok, berjendela kaca, dan beratap genting. Khusus penggunaan atap genting sudah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu yaitu pada jaman setelah pendudukan Jepang. Seluruh rumah yang ada di Kampung Mahmud sudah mempergunakan atap genting dan sudah lama meninggalkan atap rumbia atau ijuk.
Hal lain lagi yang berkaitan dengan tabu yang kini mulai ditinggalkan, yaitu hampir seluruh masyarakat Kampung Mahmud sudah mempunyai Sumur sebagai sumber air untuk keperluan hidup. Memang pada waktu kampung ini didirikan, menurut cerita yang tersebar di antara mereka dikatakan bahwa ketika tanah harom yang dibawa dari Gubah Mahmud (Mekah) ditanamkan di tempat ini, air tanah langsung mengering. Sehingga sumber air untuk keperluan hidup hanya dari Sungai Citarum saja. Sumur pada waktu itu memang ada tapi hanya satu yang kini disebut sebagai sumur Pusaka. Letak sumur ini berada di sebelah barat kampung. Sumur itu dahulunya dipergunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan berwudlu. Dikatakan oleh H. Amin, secara logika memang benar pada waktu itu, tabu untuk membuat sumur diberlakukan, karena tanah Kampung Mahmud merupakan tanah labil yang berawa, sehingga apabila sumur dibuat dalam keadaan tanah labil (belum padat) akan mengakibatkan longsor. Dengan dibuatnya sumur untuk keperluan memenuhi kebutuhan hidup akan mengakibatkan memperlambat pengerasan tanah. Rasionalisasi mengenai tabu untuk membuat sumur sangat relevan dengan keadaan tanah di sekitar Kampung mahmud pada waktu itu. Namun kini, setelah tanah mengeras / padat dan dianggap sudah stabil, H. Amin mencoba untuk mengubah kebiasaan mengambil air keperluan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat sumur. Sehingga tidak lagi Sungai Citarum dijadikan sumber air untuk keperluan hidup sehari-hari. Setelah H. Amin mempelopori membuat sumur, maka penduduk sekitarnya mengikuti jejaknya.
Dikatakan H. Amin bahwa dengan dibuatnya sumur-sumur sebagai sumber air oleh penduduk Kampung Mahmud, merasa kesehatan cukup terjaga dan lagi bahwa kadar kebersihan air Sungai Citarum kini, berbeda dengan kadar air Citarum dahulu. Kini air Sungai Citarum sudah sangat jelek dan tidak layak dijadikan sumber air untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal itu disebabkan oleh pencemaran limbah industri. Air Sungai Citarum kini tampak hitam pekat. Oleh karena itulah air dari sungai tersebut hanya dipergunakan untuk pertanian.
Kepercayaan dalam Membangun Rumah
Kampung Mahmud, merupakan suatu pemukiman penduduk yang ada di wilayah Desa Mekarrahayu Kecamatan Margaasih. Kampung ini memiliki ciri tersendiri dibanding dengan kampung-kampung lain di sekitar itu. Hal tersebut disebabkan Kampung Mahmud memiliki suatu tradisi yang erat hubungannya dengan sikap perilaku kehidupan sehari-hari, atau dengan kata lain segala aspek kehidupannya disandarkan pada adat istiadat dan kepercayaan (sistem religi) yang dianutnya dan dipercayainya. Keadaan ini membuat Kampung Mahmud memiliki ciri fisik yang agak berbeda bila dibandingkan dengan kampung lainnya di sekeliling Desa Mekarrahayu. Adapun perbedaan itu, akan terlihat dari sistem pengelompokkan, sebagian material --bahan bangunan rumah-- yang dipergunakan membangun rumah, dan tata cara dalam mendirikan rumah. Sikap demikian itu sangat dipelihara, ‘pelanggaran’ adat dalam mendirikan rumah dan tata caranya akan menimbulkan petaka bagi dirinya maupun keluarga yang mendirikan rumah tersebut. Seperti adanya keretakan rumah tangga atau kecelakaan yang menimpa salah seorang anggota keluarganya.
Bila kita amati struktur tanah yang ada di daerah Kampung Mahmud, merupakan suatu bentukan endapan rawa dari sungai Citarum yang mengelilinginya. Sehingga dahulu, di mana tanahnya masih labil masyarakat setempat sangat mempercayai bahwa dengan membangun rumah permanen adalah sangat tidak mungkin. Mereka tidak diperkenankan membangun rumah permanen dengan bahan material tembok -- batu bata, semen, dan lain-lain; dari bahan-bahan yang berat-- karena kondisi tanah yang labil. Dengan kearifan karuhunnya, maka dihubungkan dengan mitos dan tabu. Secara keseluruhan rumah yang ada di dalam lingkungan Kampung Mahmud merupakan sekumpulan imah panggung ‘rumah panggung’, yang mengelompok dalam satu areal Kampung Mahmud.
Sejarah perkembangan Kampung Mahmud ini, tidak terlepas dari adat istiadat yang melekat pada prinsip hidupnya, namun tiga belas tahun terakhir ini, dengan prakarsa Bapak Haji Amin sebagai sesepuh Kampung atau ketua adat, melakukan terobosan dengan membangun mesjid menggunakan material tembok, listrik masuk kampung, dan alat-alat elektronik, seperti radio, TV, juga mencoba membuat sumur untuk keperluan minum sehari-hari. Pertama-tama Bapak Haji Amin mengadakan tawasulan terlebih dahulu selama 40 hari 40 malam kepada Karuhun agar dalam pembangunannya tidak mendapat musibah. Akhirnya semua selamat; sumur berair, listrik dapat menyala dengan baik, demikian pula dengan radio dan TV dapat memberikan hiburan bagi masyarakatnya.

Pemilihan Bahan Bangunan
Sebelum konstruksi kayu dikenal, bambu merupakan bahan bangunan yang menentukan konstruksi rumah tradisional, khususnya di Kampung Mahmud dan umumnya masyarakat tradisional di Indonesia. Sejalan dengan perkembangan waktu, maka kayu dapat dijadikan bahan material untuk bangunan, sehingga dalam pengetahuan tradisional ‘local genius’-nya, jenis-jenis kayu tertentu dipandang memiliki kekuatan magis. Hal itu sama dengan pemilihan lahan untuk rumah. Pemilihan kayu yang tidak bertuah dapat pula menimbulkan petaka bagi penghuni dan atau pemilik rumah tersebut.
Seperti pada pemilihan tempat bangunan, pemilihan kayu yang bertuah menjadi sangat penting. Bahan-bahan kayu memiliki sifat-sifat baik atau kurang baik, sifat ini harus diperhatikan dalam membangun rumah. Bahkan dalam mempersiapkan bahan-bahan ini pun selalu dalam situasi magis, yaitu melakukan suatu acara semacam ritual ‘ tawasullan’.
Ketika membangun rumah, penduduk Kampung Mahmud selalu mempersiapkan bahan-bahan bangunan yang teruji, baik dari segi kekuatan, maupun jenis bahannya.. Pemilihan bahan bangunan dari kayu sangat bertalian dengan kekuatannya, di samping adanya kepercayaan bahwa sebuah kayu yang dipergunakan dapat memberikan kekuatan magis.
Untuk penduduk pada umumnya, pemilihan kayu atau bahan bangunan itu tidak menjadi kendala yang penting,. Oleh sebab itu, dengan tawasulan mereka dapat meminta kekuatan magis dan kekuatan lainnya dari dunia gaib sebagai ganti dari bahan kayu yang lainnya. Sehingga dengan bahan kayu yang lain pun, kekuatan magis yang jelek dapat ditangkal dengan cara tawasulan .
Seperti disebutkan di atas, sebelum menggunakan bahan bahan bangunan dari kayu, bambu merupakan bahan material utama untuk bangunan rumah. Hal itu disebabkan sifat bambu yang kokoh dan lentur. Penggunaan bambu yang optimal terletak pada bagian konstruksi yang sekunder, seperti untuk bahan usuk, reng atau bagian iratan untuk dianyam sebagai tikar, dinding (bilik), dan angit-langit .
Adapun tata cara menebang bambu harus berdasarkan patokan pamali dan ulah. "....Upami nuar awi mah ulah ayeuna pamali, engke dina "mangsa" (kapat, karo, katiga), upami iwung parantos bijil daun, upami iwung parantos sumear" (...bila hendak menebang bambu jangan sekarang, pamali, nanti pada "musim-nya", bila rebungnya sudah keluar dan berdaun). Hal ini disebabkan, Tuhan telah memberikan patokan-patokan khusus tentang masa-masa penebangan bambu. Hukum alam yang merupakan aksioma itu harus dipelajari dengan benar oleh manusia. Dalam hal ini manusia Sunda surti akan hal itu. Saat yang paling ideal untuk melakukan penebangan yaitu pada mangsa 'musim' (kapat, karo, dan katiga) atau pada bulan-bulan kemarau, yaitu awal Juni sampai Agustus. Sedangkan saat yang paling baik untuk menanam yaitu pada bulan-bulan musim hujan, biasanya pada bulan-bulan yang berakhir dengan ber-ber (September, Oktober, dan seterusnya).
Cara menebang bambu, (bambu untuk dipergunakan sebagai bahan bangunan) menurut pepatah orang tua harus pada waktu sanggeus cireumis turun 'setelah embun turun', yaitu mulai pukul 09.00 WIB kala bambu sudah tuus 'sudah tidak mengandung cireumis lagi' sampai dengan pukul 15.00 WIB. Setelah ditebang, bambu diberdirikan agar kandungan air dalam batangnya cepat turun, dahan dan daunnya jangan dilepas dulu biarkan lepas sendiri. Bambu yang ditebang dengan cara demikian menjadi lebih baik dan tidak mudah dimakan bubuk
Dalam hal pengawetannya, bambu direndam di dalam air yang mengalir dengan bagian pangkal diarahkan ke hulu sungai, atau di dalam lumpur ‘balong / kolam’, kurang lebih selama 3-4 bulan. Aliran air ini dimaksudkan untuk melancarkan proses pengeluaran cairan sel bambu sehingga tidak diserang bubuk.

Bentuk Rumah
Pada umumnya rumah yang ada di daerah Kampung Mahmud adalah rumah yang berbentuk manjang atau suhunan Panjang, yaitu rumah berbentuk ‘persegi panjang’.. Hal itu dimungkinkan untuk menunjang kapasitas dalam menampung jumlah anggota keluarga yang banyak. Apabila dilihat dari luasnya, bangunan rumah di kampung Mahmud rata-rata sangat besar, yaitu dari yang terkecil berukuran 4 x 8 meter hingga berukuran 10 x 20 meter, ditambah dengan halaman yang sangat luas.
Kebiasaan membangun rumah yang luas dan besar ini sudah merupakan tradisi masyarakat Kampung Mahmud. Sehingga sulit untuk mendapatkan rumah yang berukuran kecil, seperti di kampung-kampung lainnya di luar Kampung mahmud.
Rumah besar dan luas ini memberikan keleluasaan sirkulasi penghuninya untuk bergerak. Sirkulasi udara pun sangat baik, di mana jendela-jendela dipasang sepanjang dinding dengan ukuran yang sangat proporsional. Di samping itu, pencahayaan rumah pun cukup baik, karena dengan letak jendela yang berjajar memanjang memberikan ruang cahaya lebih banyak.
Sirkulasi atau ruang gerak penghuni pun tidak terbatas oleh ruang yang ada, sebab jarak antara ruang-ruang yang ada di dalam rumah cukup lebar. Hanya saja ruang halaman yang ada di luar hanya dibatasi oleh sebilah bambu yang ‘dipaseuk’ pada ujung-ujung tanah. Batas teritorial antara ruang halaman
satu dengan halaman yang lainnya sangat samar.. ‘Panyaweran’ pun dapat dijadikan sebagai batas ruang halaman rumah yang satu dengan yang lainnya. Batas rumah yang demikian itu, terjadi pada kelompok rumah yang ada di dekat Kokolot, sedangkan bagi rumah-rumah yang ada di luar kelompok ini dibatasi dengan pagar kebun.

Upacara Membangun Rumah
Bagi penduduk Kampung Mahmud sudah merupakan kebiasaan apabila dalam setiap pekerjaan selalu mengadakan tawasulan kepada karuhun. Tawasul ini dapat juga dilaksanakan seperti dalam membangun rumah. Tujuan tawasulan ini yakni meminta ijin dan berkah kepada karuhun yang telah membangun daerahnya agar memperoleh keselamatan dalam melakukan pekerjaan, sehingga pembangunan rumah dapat terselesaikan dengan baik dan keluarga yang akan mendiami rumah tersebut selamat.
Biasanya tawasulan diadakan di atas sebidang tanah yang akan didirikan rumah, dan waktu penyelenggaraannya pada saat ‘peletakkan batu pertama’. Penyelenggara tawasulan ini ialah keluarga yang akan membangun rumah. Keluarga tersebut mengundang tetangga sekitarnya dan para pekerja untuk berdoa dan memohon keselamatan. Tawasulan ini dipimpin oleh seorang sesepuh kampung. Selesai berdoa, acara diakhiri dengan makan tumpeng bersama, yang telah disediakan sebagai pelengkap upacara.
Upacara ritual ketika rumah sedang berlangsung dibangun, yaitu pada waktu naekeun ‘membuat suhunan’ rumah. Pada waktu rangka suhunan rumah ini akan dibangun, biasanya diadakan semacam upacara kecil, yaitu menyediakan tumpeng dan menyembelih ayam. Di samping itu disediakan pula bendera merah putih, yang nantinya dipasang atau dililitkan pada kayu wuwungan / dikibarkan di tengah-tengah suhunan rumah tersebut. maksud dan tujuannya adalah memerdekakan dari segala halangan dan rintangan bagi rumah tersebut.
Pelaksananan upacara tersebut adalah ketika suhunan ‘atap bangunan’ akan dipasang, maka upacara ritualnya dengan tawasulan. Sarana upacara tersebut dengan menyembelih seekor ayam, kemudian darah ayam tersebut dioles-oleskan ke seluruh tiang suhunan atau setiap tiang di pojok rumah tersebut. Mereka percaya, bahwa dengan cara semacam itu, rumah akan kuat dan kokoh. Ayam yang disembelih dianggap sebagai tumbal atau penolak bala.
Selain itu, si empunya rumah menyediakan pula berbagai macam sesajian, seperti : tiwu ‘tebu’, pare ‘padi’, tuangeun ‘makanan kecil’; papais, bodoeusi ‘kue bugis’, hahampangan ‘makanan kecil berupa opak ketan, kue-kue makanan ringan’ banyaknya tergantung kebutuhan, bendera, dan yang lebih dianggap magisnya adalah membuat lubang di tengah-tengah rumah sedalam 30 cm dengan diameter 20 cm. Lubang tersebut diisi dengan berbagai jenis bumbu dapur dan seuseukeutan ‘benda-benda tajam seperti, kaca pecah, paku-paku, dan kai rukem ‘kayu rukem’. Sedangkan di atas kayu wuwungan, bagi pemilik rumah yang berada, biasanya dipasang paku dari emas. Maksud adan tujuan dari pemasangan paku emas ini adalah untuk memberikan kekuatan bagi si pemilik rumah ‘nurut buat sing aya ajen samistina martabat emas’ di samping itu pula sebagai tafaul.
Upacara ritual pada waktu naekkeun suhunan ‘memasang atap’ ini dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan baik hari maupun jamnya, dan pemilik rumah pun mengundang pemimpin masyarakat (H. Amin). Kemudian, para pekerja dan segenap keluarga pemilik rumah berkumpul di tengah-tengah bangunan rumah yang belum jadi. Di tempat ini telah disediakan, berbagai macam makanan berat seperti tumpeng ‘nasi kuning’ dan peralatan ritual lainnya. Mula-mula H. Amin menghancurkan kemenyan sebesar ibu jari orang tua menjadi bagian-bagian kecil, kemudian dibagikan kepada para pekerja dan segenap keluarga yang ada. Setelah membagikan kemenyan, lalu pemimpin ritual ini membacakan adzan dengan cara dimulai menghadap ke barat, utara, selatan, timur, dan ditutup ke barat lagi. Tata cara membacakan adzan tersebut adalah : pertama menghadap barat hingga kata-kata dalam adzan sampai haya ala salat, pindah menghadap utara, kemudian menghadap selatan hingga kata-kata haya alal falah, menghadap timur hingga kata-kata Allah hu akbar pertama, dan kemudian menghadap barat lagi. Setelah selesai membacakan adzan, kemudian menyembelih ayam di atas lubang yang ada di tengah-tengah rumah, kemudian darahnya dioles-oleskan ke setiap tiang penjuru rumah. Pemimpin ritual menghadap ke lubang di tengah rumah tersebut sambil berdoa salawat nabi yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, Syeh Abduklqadir Jaelani, nabi Sulaeman, Raden Patah di Banten, Sembah Dalem Abd. Manaf, Sembah Dalem Gedug, Sembah Dalem Zaenal Arif, dan semua karomah. Setelah itu disambung dengan tawasul kepada karuhun hingga ayah dan ibu si pemilik rumah. Diakhiri dengan pembacaan surat Fatihah sambil diikuti oleh semua orang yang hadir pada waktu itu. Setelah selesai kemenyan yang dibagikan itu dipungut kembali dan semuanya dibakar di atas pedupaan dekat lubang.
Upacara ini disebut selamatan, karena telah selesai membangun rumah dan selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan. Biasanya pada upacara selamatan disediakan tumpeng dan makanan kecil lainnya. Jalan dan tata cara upacara selamatan sama dengan tawasulan sebelum mendirikan rumah, di mana dalam upacara tersebut dipimpin oleh sesepuh atau kuncen Kampung Mahmud dan dihadiri oleh para tetangga di sekitarnya. Tempat upacara dilaksanakan di dalam rumah yang telah selesai dibangun.
 

Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan
Posted by jalod99 | Filed under Tokoh
{1650 – 1730M /1071 – 1151H}

Tasawuf Martabat Alam Tujuh
Abstrak
Hendaklah kamu sekalian bertakwa kepada Allah, berbaktilah kepada orang tua yang
telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan muliakanlah tamumu, bicaralah
dengan benar, senangkanlah orang lain, sekalipun kamu tidak dapat menyenangkan
orang, janganlah kamu sedikit berbuat yang dapat menyusahkan orang, kasihanilah orang
yang kecil hormati orang yang besar dan hargailah sesamamu,
…. hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan duri ….
{Wasiat Syekh Abdul Muhyi kepada putra-putri dan istri-istrinya sebelum malaikat maut
menjemputnya}
Genealogi Syekh Abdul Muhyi
Berbeda dengan tokoh-tokoh sufi Melayu lainnya, aspek kesejarahan Syekh Abdul
Muhyi sampai sekarang masih belum tuntas diungkapkan, baik riwayat hidup maupun
perannya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat. Hal itu salah satunya disebabkan oleh
kesulitan memperoleh sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan tokoh tersebut.
Kalaupun ada, sebagian besar masih berada di tangan penduduk atau tersimpan di
perpustakaan-perpustakaan Eropa misalnya di Leiden, Belanda.
Bersumber dari naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tersebut dapat
diketahui bahwa Syekh Abdul Muhyi dari pihak ibu adalah keturunan Nabi sedangkan
dari pihak bapak adalah keturunan raja-raja Jawa khususnya dari kerajaan Galuh (Jawa
Barat). Penarikan garis keturunan ke atas ini tampaknya dimaksudkan untuk memberikan
legitimasi ketokohannya sebagai ulama. Tetapi kepentingan teks tersebut bukan terletak
pada kebenaran sumber sejarah, tetapi harus dilihat sebagai trend sejarah para wali yang
senantiasa menarik garis keturunan pada Rasulullah. Karena kecenderungan ini, para
sosiolog kerap memandangnya sebagai keturunan spiritual; sebab sang wali berperan
sebagai penerus risalah nabi.
Inti genealogi Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah terletak pada dua tokoh: selain Syekh Abdul Muhyi sendiri yang diberi gelar Safaril Wadin Pamijahan, dan juga Kanjeng Dalem Tumenggung Wiradadaha, Bupati Sukapara (nama lama Kabupaten Tasikmalaya) yang hidup sezaman. Perbedaannya, yang pertama memainkan peran sebagai ulama sedangkan yang kedua lebih berperan sebagai penguasa (umara).
Untuk memperkuat perannya sebagai ulama, di dalam naskah Kitab Istiqlal Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah disebutkan ada tiga guru tarekat yang diwarisi tasawuf
Pamijahan yaitu: Abdul Qadir Jaelani, Abdul Jabbar dan Abdul Rauf Singkel. Apabila
Abdul Qadir Jaelani disebut sebagai ‘wali awal’, maka Abdul Muhyi dianggap sebaga

‘wali penutup’. Kedudukan ini memang dibuktikan oleh kenyataan bahwa setelah
wafatnya, keturunan Abdul Muhyi tidak lagi menggunakan gelar Syekh. Istilah ‘wali
penutup’ memang menjadi pertanyaan, sebab dalam sejarah Islam wali akan tetap ada
setiap zaman, tetapi hanya para ‘wali’ yang mengetahui keberadaan seorang ‘wali’.
Yang penting dari naskah itu dapat dicatat dua hal, pertama keturunan Nabi dan kedua
keturunan raja. Di dalam naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah
disebutkan bahwa sebagai ‘keturunan’ nabi dirinya merupakan keturunan ke-26 dihitung
dari Fatimah. Dengan begitu kedudukannya sebagai ulama menjadi kuat, karena ia adalah
keturunan nabi dari garis Husein, putera Fatimah. Hal itu didukung pula oleh keterangan
bahwa Syekh Abdul Muhyi juga adalah murid Syekh Abdul Rauf Singkel, salah seorang
ulama Aceh terkemuka pada abad XVII yang dimakamkan di Kuala Aceh dan terkenal
sebagai guru tarekat Satariyah. Lebih dari itu, dilihat dari genealoginya, Syekh Abdul
Rauf Singkel juga keturunan Nabi yang ke-13 dari garis Hasan, putera Fatimah. Pada
cabang inilah terdapat Abdul Qadir Jaelani al-Bagdadi yang terkenal sebagai penggagas
tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Derajat kewalian Syekh Abdul Muhyi semakin kuat,
karena antara Nabi dan dirinya terdapat urutan tokoh yang menjadi salah satu dari ‘Wali
Songo’, yaitu Sunan Ampel dan Sunan Giri.
Sebagai keturunan raja, Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tidak banyak
menyebutkan garis silsilah bapak, tetapi dijelaskan di dalam naskah lain yang disebut
Sejarah Sukapura, yaitu dari Ratu Galuh. Ayah Syekh Abdul Muhyi yang bernama Lebe
Warta kusumah adalah keturunan ke-6 dari Ratu Galuh. Perkawinan Lebe Warta dengan
Sembah Ajeng Tanganziah melahirkan dua orang anak: pertama adalah Syekh Abdul
Muhyi dan kedua adalah Nyai Kodrat (menjadi isteri Khotib Muwahid). Dari Khotib
Muwahid ini Syekh Abdul Muhyi mempunyai hubungan kekerabatan tidak langsung
dengan Sultan Pajang, Pangeran Adiwijaya (Jaka Tingkir), karena yang terakhir ini
merupakan leluhur Sembah Khotib Muwahid.
Syiar Islam dan Tradisi Ziarah Kubur
Berbeda dengan riwayat keturunannya, aktivitas keagamaan Syekh Abdul Muhyi tidak
banyak informasi diperoleh. Dalam kedudukannya sebagai penyebar Islam, kisahnya sulit
dilacak. Hal ini barangkali disebabkan karena pada umumnya para ulama, apalagi jika ia
telah mencapai derajat ‘wali’, hal-hal yang bersifat popularitas sangat dihindari, sehingga
kehidupan keagamaannya selalu berkembang dari legenda ke legenda dan dari mitos ke
mitos.
Demikian pula dengan Syekh Abdul Muhyi. Kebanyakan informasi diperoleh dari
legenda-legenda atau tradisi lisan masyarakat Pamijahan atau para murid dan penganut
disiplin Satariyah. Dalam tradisi setempat, Abdul Muhyi datang ke Pamijahan melalui
Darma Kuningan. Pengetahuan agamanya diperoleh setelah berguru kepada Sunan Giri.
Kemudian dilanjutkan dengan berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkel di Aceh, yang
memungkinkannya sampai di Bagdad dan berhasil mewarisi ajaran Abdul Qadir Jaelani.
Sekembalinya ke tanah air, ia diperintahkan gurunya di Aceh untuk menemukan sebuah gua yang serupa dengan gua tempat tarekatnya Abdul Qadir Jaelani. Setelah bertahun- tahun menelusuri daerah pedalalaman Jawa Barat bagian tenggara, akhirnya ia sampai di



Pamijahan. Gua yang ditemukannya di desa itu diberi nama Munajat, dan mendirikan
kampung dinamai Saparwadi. Tetapi di kemudian hari kampung itu lebih dikenal dengan
nama Pamijahan; istilah yang diberikan untuk menandai kedatangan banyaknya peziarah
seperti ikan yang bertelur di gua Saparwadi.
Secara umum, bisa dikatakan bahwa syiar Islam dilakukan dengan melalui jalan tasawuf.
Mula-mula memperkenalkan tarekat Qadiriyah; sebuah aliran yang banyak dikenal di
Tanah Sunda sebagaimana dibuktikan oleh banyaknya manuskrip tarekat ini. Namun
kemudian ajaran tersebut semakin mengkristal menjadi Tarekat Mu’tabarah Syatariyah.
Ajaran ini ditandai oleh berbagai varian cara pendekatan diri kepada Sang Pencipta yang
rupanya amat sesuai dengan tradisi lama masyarakat Sunda.
Sayangnya ini tidak menemukan bukti pesantren tertua di Pamijahan, namun jika
penyebaran Islam dilakukan melalui jalan tasawuf, artinya telah terjalin hubungan
kekerabatan spiritual antara sang guru dan muridnya. Melalui murid-murid tarekat itulah
kemudian ajaran Islam berkembang. Cara seperti ini sudah tentu memberikan
kemungkinan meluasnya jaringan Islam dalam metode yang homogen. Dan dari setiap
murid itulah akan tercipta kutub-kutub pengajaran Islam lainnya, yang meskipun tetap
terfokus pada pusat suci Pamijahan, pusat-pusat penyebaran lainnya dikesankan sebagai
satelit-satelit yang mengelilingi sistem tata surya dari pusat cahayanya. Dan pusat cahaya
yang pertama itu sendiri sesungguhnya menjadi satelit dari kutub suci utamanya di
Mekah.
Praktek keagamaan dari tarekat ini tercermin pada perilaku ziarah di Pamijahan, seperti
halnya juga dilakukan di kompleks makam Sunan Gunung Jati, Cirebon. Menurut
Viviane Sukanda-Tessier pada tahun 1991, pada prinsipnya, dalam ritual tersebut para
peziarah meyakini bahwa ziarah (tawaf) di kompleks makam Sunan Gunung Jati dan
Syekh Datuk Kahfi, Cirebon sama nilainya dengan pergi haji ke tanah suci Mekkah.
Demikian pula, ziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi dan dilanjutkan dengan
penerebosan gua Saparwadi, dianggap ekivalen dengan pergi haji ke Mekkah. Anggapan
ini direpresentasikan oleh tingkat keistimewaannya dalam penetrasi gua Saparwadi.
Kecuali mengandung sifat-sifat keajaiban alam juga mengandung nilai mistis.
Keistimewaan itu pertama-tama terletak pada kesukaran ketika memasuki dan
mencari jalan keluarnya. Setelah berada di dalam gua, orang dapat menemukan
tempat keramat / pertapaan yang konon merupakan warisan Syekh Abdul Muhyi
seperti jalan ghaib menunju berbagai jurusan: Mekah, Madinah, Cirebon, Banten,
dan Surabaya (Gresik).
Dalam prakteknya, ziarah pada umumnya dipandu oleh kuncen (juru kunci). Para
peziarah membaca al-Quran, surat al-Ikhlas, al-Falaq, An-Nas, istighfar, shalawat,
mengingat jasa guru dan zikir, yang seterusnya memanjatkan doa. Termasuk ke dalam
disiplin ini, di daerah inti Pamijahan terdapat beberapa perilaku yang wajib ditaati
pengunjung, seperti dilarang merokok, naik sepeda atau motor.
Keberadaan institusi pakuncenan pada kenyataanya bukan sekedar ‘juru kunci’ yang
melayani prosesi ziarah, tetapi sekaligus penjaga tradisi baku yang berlaku di Pamijahan.
Antisipasi masyarakat Pamijahan pun telah mendukung meningkatnya kegiatan ziarah
tahunan. Popularitas Pamijahan semakin hari semakin luas tidak hanya di Jawa Barat,
tetapi juga seluruh Jawa. Seperti juga makam para wali lainnya di pesisir utara Jawa,
Pamijahan selalu menarik puluhan ribu pengunjung pada setiap kalender hari raya Islam
tahunan.
Hikmah besar ini sekarang dirasakan amat positif bagi dinamika kehidupan masyarakat
Pamijahan. Harus diakui, keramat Pamijahan sekarang menjadi salah satu sektor
pendapatan masyarakat yang penting, dan sudah tentu mendukung peningkatan ekonomi
daerah, khususnya di Kabupaten Tasikmalaya.
Pemikiran Tasawuf Martabat Alam Tujuh
Dalam tradisi Tasawuf yang kelak nantinya diikuti oleh pengikutnya, maka Syekh Abdul
Muhyi dengan Tarekat yang ditempuhnya ialah tarekat Mu’tabarah Syatariyah ini akan
memberi suatu pemikiran tentang ajaran Martabat Alam Tujuh, yang disebut Martabat
Alam Tujuh ini adalah sesuatu yang mengajak manusia untuk mengenal dan
mendekatkan diri kepada Tuhan (Taqarub Ila Allah). Diantaranya adalah; Ahadiyah,
Wahdah, Wahidiyah (tertuju kepada sang khaliq), Alam Arwah, Alam Mitsal, Alam
Ajsam (tertuju terhadap Alam), dan Alam Insan (tertuju kepada manusia).
Sejalan dengan konsep wujudiyyat Ibnu ‘Arabi dan al-Jilli di atas, Muhammad bin
Fadhlallah al-Burhanpuri mencetuskan konsep wujudiyyat yang dikenal dengan
“Martabat alam Tujuh”. Menurutnya, wujud Allah itu untuk dapat dikenal melalui tujuh
martabat (tingkatan).
Martabat pertama, adalah martabat al-lata’ayyun yang disebut ahadiyyat, yaitu esensi
Tuhan yang mutlak tanpa nama dan sifat, sehingga tak nampak dan tak terkenal siapa
pun.
Martabat kedua, adalah martabat al-ta’ayyun al-awwal (penampakan yang pertama)
yang disebut wahdat. Penampakan esensi Tuhan pada tingkat ini berupa Hakikat
Muhammad (al-haqiqat al-Muhammadiyyat) yang diartikan sebagai ilmu Tuhan
mengenai diri-Nya, sifat-Nya, dan alam semesta secara global tanpa pembedaan yang
satu dari yang lain.
Martabat ketiga, adalah al-ta’ayyun al-tsani (penampakan kedua) yang disebut
wahidiyyat dalam rupa Hakikat Insan (al-haqiqat al-insaniyyat), yakni ilmu Tuhan
mengenai diri-Nya, sifat-Nya, dan alam semesta ini secara terinci dan pembedaan yang
satu dari yang lain, atas jalan perceraian.
Tiga martabat tersebut, menurut al-Burhanpuri semuanya bersifat qadim dan ‘azali,
karena martabat yang tiga ini ketika itu tiada ada yang mawjud, melainkan Dzat Allah
SWT dan sifat-sifat-Nya, sedangkan sekalian makhluk ketika itu adalah mawjud di dalam
ilmu Allah, belum lahir dalam wujud kharij (luar).
Selanjutnya, martabat keempat, dinamakan ‘alam arwah dan disebut juga Nur
Muhammad SAW, yaitu ibarat dari keadaan sesuatu yang halus semata. Ruh Tunggal
yang merupakan asal ruh semua makhluk.
Martabat kelima, disebut ‘alam mitsal, yaitu ibarat dari keadaan sesuatu yang halus,
yakni diferensiasi dari Nur Muhammad tersebut dalam rupa ruh perorangan, yang dapat ditamsilkan “laut” selaku alam ruh melahirkan dirinya dalam bentuk “ombak” sebagai ‘alam mitsal.
Martabat keenam, disebut sebagai ‘alam ajzam, yaitu alam benda-benda yang kasar,
yang tersusun serta berbeda-beda antara yang satu dan yang lainnya.
Martabat ketujuh, adalah martabat insan atau alam paripurna, yang padanya terhimpun
segenap martabat yang sebelumnya, sehingga martabat ini disebut tajalli (penampakan)
yang kemudian sekali.
Itulah tujuh martabat wujud Allah menurut al-Burhanpuri, yang dipelajarinya oleh
Syekh Abdul Muhyi sekaligus murid dari Abdul Rauf Singkle. dan yang pertama dari
tujuh martabat itu adalah sumber martabat bagi penampakan Allah, yang enam martabat
lainnya adalah martabat-martabat penampakan Allah yang kulli (global).
Adapun martabat yang terakhir, yakni martabat insan dinamakan insan kamil, jika naik
meningkat segenap martabat yang lain tampak serta terpancar di dalamnya. Puncak insan
kamil yang paling sempurna terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW, penutup segala
nabi-nabi. Demikianlah konsep martabat tujuh menurut pencetus yakni Muhammad bi
Fadhallah al-Burhanpuri.
Kesemua ini merupakan hasil dari kitab al-Tufat di Jawa, yang di ikuti oleh Syekh Abdul
Muhyi dan mengajarkan martabat alam tujuh. Kalau ini di teliti lebih lanjut sangat
panjang uraiannya karena harus mengikuti alur sejarah yang harus di jalani dan ini
tidaklah cukup satu hari mempelajari tasawuf martabat alam tujuh.
Pengamalan Tarekat
Setelah gua ditemukan maka Syekh Abdul Muhyi bermukimlah beliau di dalam gua
beserta keluarganya dan para pengikutnya, di sana beliau mendidik santri-santrinya
dengan penuh ketekunan dan kesabaran sehingga mereka benar-benar sudah menjadi
muslim yang penuh dengan ilmu pengetahuan agama disamping itu beliau selalu suluk
(istilah kewalian) menempuh keridhaan Allah dengan jalan Tarekat. Tarekat yang
ditempuhnya ialah tarekat Mu’tabarah Syatariyah, ada pendapat lain bahwa beliau
mendapat pangkat kewaliannya itu dengan mengamalkan Tarekat Nabawiyah.
Pendapat yang masyhur ajaran beliau hingga mencapai suluk kewaliannya dengan
Tarekat Mu’tabarah Syatariyah, yang silsilah keguruan atau kemursyidannya hingga
Rasulullah SAW.
Setelah sekian lama beliau mendidik santrinya di dalam gua, beliau mempersilahkan
mereka untuk membantu menyebarkan agama Islam, dan mulai itulah beliau turut ke
alam terbuka bersama santrinya yang telah dapat dipercaya. Berangkatlah beliau menuju
tempat sebelah timur dengan menyelusuri hutan-hutan yang lebat turun gunug naik
gunung, pasir-pasir dilaluinya dan jurang pun diseberanginya, bila telah berjalan, panas
terik menyengatnya maka berteduhlah di bawah pohon-pohon yang besar sambil
berlindung dari keganasan binatang-binatang buas.
Kesimpulan
Pengumpulan data lapangan di Pamijahan, dengan segala keterbatasan data yang
diperoleh, setidaknya telah mengisi kekosongan pengetahuan berkenaan dengan
pengkultusan orang-orang suci Islam seperti misalnya Syekh Abdul Muhyi. Dengan
penelitian ini sedikit kesulitan untuk memahami mentalitas dan religiusitas Islam di
pedalaman Jawa Barat dapat diminimalkan. Dengan begitu, dalam mencermati gejala-
gejala yang kerap dikategorikan sebagai ‘penyimpangan’ teologis, atau bahkan juga
sejenis pengisolasian diri dari realitas-realitas kehidupan yang penuh dengan tantangan,
dapat segera memunculkan isu akademik untuk mengkajinya secara lebih objektif.
Dengan terungkapnya semua fenomena kekeramatan Pamijahan yang telah nyata menjadi
sumber magnet ziarah keagamaan, ‘ongkos’ yang bisa dikembalikan diharapkan berupa
pengayaan kualitas ziarah yang telah memberi nuansa signifikan bagi pariwisata budaya
spesifik dalam ranah keagamaan Islam. Konsep yang nanti bisa dikembangkan bagi
segmen kegiatan itu sudah tentu mengarah pada pengisian entitas-entitas budaya
Indonesia sebagai, memang semestinya, ‘payung’ bagi pengembangan pariwisata daerah.
Keberadaan makam dan tempatnya melakukan tarekat di Gua Saparwadi, di tepi sungai
Pamijahan, telah menjadi bukti kongkrit dari akhir perjalanan hidupnya yang diabdikan
untuk menyebarkan ajaran agama dan menjaga moral masyarakat yang pada waktu itu
sedang berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Belanda setelah kekalahan Kesultanan
Mataram.
Beberapa pakar telah mencoba mengungkapkan pentingnya situs Pamijahan ini sebagai
salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa Barat. Dari segi arkeologis, sudah tentu daerah
aliran sungai Cipamijahan dan cabang-cabangnya harus tetap diwaspadai sebagai lokasi
hunian purba, yang mungkin sudah berlangsung sejak zaman prasejarah. Namun hasil
penelitian ini baru memperoleh data-data awal tentang okupasi situs sejak awal abad
XVII Masehi, setelah masyarakat setempat memeluk Islam.
Sesungguhnya bentang alam Pamijahan tidak ada yang istimewa, karena di hampir semua
tempat di pegunungan selatan banyak ditemukan gua-gua alam, baik berupa ceruk
dangkal ataupun rongga besar yang mengandung air atau mungkin bekas aliran sungai
bawah tanah. Tetapi justeru karena kedatangan Syekh Abdul Muhyi dan kegiatan
da’wahnya di tempat itu, menyebabkan Pamijahan menjadi penting. Unsur-unsur alam
yang semula hanya sebagai sumber air yang digunakan bagi keperluan irigasi
persawahan, dan bukit-bukit terjal yang rimbun justeru semakin menjadi pendukung
berfungsinya tempat itu sebagai salah satu pusat kekeramatan.
Dua elemen penting dengan demikian menjadi faktor menentukan bagi
keberlangsungan kegiatan wisata ziarah: alam itu sendiri dan keberadaan sang
‘wali’. Beberapa informasi lisan telah memberikan data pengunjung yang luar biasa
besarnya; terutama pada hari besar Islam seperti bulan Rabbi’ul Awwal (kelahiran Nabi),
da’wahnya di tempat itu, menyebabkan Pamijahan menjadi penting. Unsur-unsur alam
yang semula hanya sebagai sumber air yang digunakan bagi keperluan irigasi
persawahan, dan bukit-bukit terjal yang rimbun justeru semakin menjadi pendukung
berfungsinya tempat itu sebagai salah satu pusat kekeramatan.
Dua elemen penting dengan demikian menjadi faktor menentukan bagi
keberlangsungan kegiatan wisata ziarah: alam itu sendiri dan keberadaan sang
‘wali’. Beberapa informasi lisan telah memberikan data pengunjung yang luar biasa
besarnya; terutama pada hari besar Islam seperti bulan Rabbi’ul Awwal (kelahiran Nabi),
bulan Sya’ban (menjelang ibadah ramadhan) dan bulan Muharram (tahun baru Hijriyah),
peziarah bisa mencapai 20-30 ribu orang dalam rentang dua sampai tiga hari berturut-
turut. Besarnya jumlah pengunjung sudah tentu membawa dampak luas bagi kehidupan
ekonomi setempat, tetapi bisa juga memberi dampak negatif: menurunnya daya dukung
alam, ketersediaan air bersih misalnya dan ketergantungan umum pada ekonomi ziarah.
Wassalam,
Sumber;
ï·²Drs. H. AA. Khaerussalam, Sejarah Perjuangan Syekh Haji Abdul Muhyi Waliyullah
Pamijahan, cet XI, (Pamijahan, 2005)
ï·² Wawancara langsung dengan K.H. A. Beben M.D. {Pengurus Harian Kekeramatan
Pamijahan}
ï·²Prof. Dr. Moh. Ardani, Warisan Intelektual Islam; abd-muhyi (martabat alam tujuh),
artikel diluncurkan pada seminar pengaruh Islam terhadap budaya jawa, 31 November
2000

Syekh Abdul Muhyi

 
Syekh Abdul Muhyi adalah seorang sufi berbasis tarekat Satariyah, yang mana sejak wafatnya Sunan Gunung Jati banyak tokoh-tokoh lain yang juga memainkan peran yang sama seabad kemudian, dan menjadikan Jawa Barat sebagai basis Islamisasi, termasuk Syekh Abdul Muhyi di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantar Kalong, Kabupaten Tasikmalaya.
Menurut Kitab Istiqlal Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah, yang memegang peran penting dalam syiar Islam di Tasikmalaya pada waktu itu terletak pada dua tokoh: selain Syekh Abdul Muhyi sendiri yang diberi gelar Safaril Wadin Pamijahan atau Safarwadi Pamijahan, dan juga Kanjeng Dalem Tumenggung Wiradadaha, Bupati Sukapara (nama lama Kabupaten Tasikmalaya) yang hidup sezaman. Perbedaannya, yang pertama memainkan peran sebagai ulama sedangkan yang kedua lebih berperan sebagai penguasa (umara).
Untuk memperkuat perannya sebagai ulama, di dalam naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah juga disebutkan bahwa ada tiga guru tarekat yang diwarisi tasawuf Pamijahan yaitu: Abdul Qadir Jaelani, Abdul Jabbar dan Abdul Rauf Singkel. Apabila Abdul Qadir Jaelani disebut sebagai ‘wali awal’, maka Abdul Muhyi dianggap sebagai ‘wali penutup’. Kedudukan ini memang dibuktikan oleh kenyataan bahwa setelah wafatnya, keturunan Abdul Muhyi tidak lagi menggunakan gelar Syekh. Istilah ‘wali penutup’ memang menjadi pertanyaan, sebab dalam sejarah Islam wali akan tetap ada setiap zaman, tetapi hanya para ‘wali’ yang mengetahui keberadaan seorang ‘wali’.
Sebagai keturunan raja, tidak banyak disebutkan dalam Kitab Istiqlal Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah perihal garis silsilah bapak, tetapi dijelaskan di dalam naskah lain yang disebut Sejarah Sukapura, yaitu dari Ratu Galuh. Ayah Syekh Abdul  Muhyi yang bernama Lebe Warta Kusumah, yang adalah keturunan ke-6 dari Ratu Galuh. Perkawinan Lebe Warta dengan Sembah Ajeng Tangan Ziah melahirkan dua orang anak: pertama adalah Syekh Abdul Muhyi dan kedua adalah Nyai Kodrat (menjadi isteri Syekh Khotib Muwahid). Dari Syekh Khotib Muwahid ini Syekh Abdul Muhyi mempunyai hubungan kekerabatan tidak langsung dengan Sultan Pajang, Pangeran Adiwijaya (Jaka Tingkir), karena yang terakhir ini merupakan leluhur Sembah Khotib Muwahid.
Silsilah Bupati Sukapura menurut naskah Leiden Cod. Or. 7445 secara Genealogi dimulai dari empat orang isteri Syekh Abdul Muhyi, itupun terutama dari isteri yang pertama (Sembah Ayu Bakta) sebagai leluhur para bupati Sukapura dari pihak ibu, adalah putri dari Sembah Dalem Sacaparana.
Selain itu, R. Ajeng Halimah atau disebut juga Ayu Salamah, putri ketiga dari Raden Tumenggung Anggadipa Wiradadaha III, penguasa Sukapura (Tasikmalaya) waktu itu, dan juga adik bungsu dari Raden Yudanagara I, adalah juga salah seorang istri Syekh Abdul Muhyi.
Kesan kuno kompleks keramat Pamijahan hanya tampak pada Gua Saparwadi. Gua ini terbentuk secara alamiah sebagai hasil proses geologi biasa. Gua tersebut memiliki dua pintu, tetapi secara tradisional, jalur yang dianggap pintu masuk terletak di sebelah tenggara (Kampung Pamijahan) dan pintu keluar di sebelah barat laut (Kampung Panyalahan). Diukur dari kedua pintu itu, panjang gua mencapai sekitar 284 m dan bagian terlebar mencapai 24,50 m. Menurut perhitungan, ruang dalam gua tersebut mempunyai keluasan 6.950 m2, yang tertutup bukit terjal seluas 26.568 m2.
Dari ujung ke ujung terdapat jalan masuk yang sempit. Bagian dalam gua memiliki ruangan cukup luas dan dapat menampung puluhan orang. Pada sepanjang jalan gua ini, tampak langit-langit gua dipenuhi stalaktit dan stalagmit. Sesungguhnya jalan gua ini merupakan sumber air yang seterusnya dialirkan ke bagian luar untuk masuk ke sungai Pamijahan. Jalan utama dalam gua ini sebuah jalur lurus dengan orientasi barat–timur. Di sebelah utara terdapat lorong-lorong yang secara tradisional dianggap ‘jalan mistik’ dengan berbagai tujuan.
Tidak jauh dari pintu masuk, terdapat sebuah lorong yang dinamai pangtapaan (tempat bertapa). Setelah keluar dari pangtapaan, orang dapat mengunjungi ceruk kecil mengandung sumber air bawah tanah yang ditandai sebagai ‘zamzam’. Di sini pengunjung dapat mengambil air suci dalam botol-botol plastik yang nantinya sebagai bekal. Perjalanan dilanjutkan ke arah utara sampai di sebuah lorong dangkal yang disebut Cikahuripan (air kehidupan).
Tidak jauh dari situ terdapat lorong besar ke arah barat. Lorong ini mula-mula memiliki dua cabang ke kiri dan kanan. Pada cabang sebelah kiri (utara) terdapat dua lorong, disebut ‘menara’ dan ‘jalan ke Mekah’. Keluar dari lorong ini, perjalanan dilanjutkan ke lorong utama pada arah utara, yang pada ujungnya terdapat ceruk dinamai ‘masjid isteri’. Pada lorong inilah terbentang dua cabang besar membentuk sayap timur dan barat, yaitu ‘jalan ke Surabaya’ dan ‘jalan ke Cirebon’.
Pada sayap barat ditemukan banyak lorong. Deretan lorong utara, biasa disebut pasantrian, ada ceruk-ceruk yang penamaannya mengidentikkan diri dengan instrumen kegiatan pesantren. Lorong pertama disebut jabal kopeah, kemudian berturut-turut ke arah barat terdiri dari ‘tempat kitab’, pandaringan, haseupan, dulang, dan cowet. Sedangkan lorong paling barat adalah ‘jalan ke Banten’. Kembali ke jalur utama gua, perjalanan dilanjutkan ke arah barat. Sebelah utara terdapat ceruk yang disebut ‘cikajayaan’ dan kemudian ceruk lainnya disebut ‘tihang masjid Madinah’, sebelum berakhir di pintu ke luar di Kampung Panyalahan.
          Kompleks keramat di situs Pamijahan memiliki sekurang-kurangnya lima kompleks makam keramat. Di pintu gerbang utama di sebelah tenggara situs, obyek ziarah terdiri dari makam Bengkok, makam Sembah Ajeng Tangan Ziah, makam Kidul, makam Syekh Abdul Muhyi dan makam Syekh Khotib Muwahid.
Makam Bengkok terletak di ujung paling tenggara situs Pamijahan, tepatnya di tepi sebelah selatan Cipamijahan. Kompleks keramat ini berada jauh di luar Kampung Pamijahan pada salah satu tebing sungai yang agak curam. Kekunoannya sulit dilacak, tetapi pasti merupakan sebuah kubur tua karena tokoh yang dikuburkan di tempat ini masih dikenali sebagai Sembah Dalem Sacaparana, yaitu mertua Syekh Abdul Muhyi.
Makam Sembah Ajeng Tangan Ziah, terletak di tebing sebelah selatan Cipamijahan, tidak jauh dari Masjid Jami Pamijahan. Kompleks makam ini telah mengalami restorasi besar-besaran, sehingga mengesankan bangunan modern dengan konstruksi permanen. Namun, dilihat dari ketokohan almarhum, makam ini mestinya merupakan salah satu kubur tua yang sudah ada sejak awal abad XVII, karena tokoh bernama Sembah Ajeng Tangan Ziah adalah ibu Syekh Abdul Muhyi. Menurut beberapa naskah, wanita ini adalah keturunan ke-14 Nabi Muhammad dari garis Fatimah dan puteranya Husein.
Makam Kidul, terletak sekitar 200 m dari kubur Sembah Ajeng Tangan Ziah, lebih dikenal dengan nama ‘Makam Kidul’, karena berada di sebelah selatan Kampung Pamijahan, tepatnya di tebing sebelah selatan sungai Pamijahan. Kompleks ini sebenarnya adalah kubur seorang tokoh bangsawan Sukapura bernama Raden Yudanagara I. Tidak diragukan lagi, meskipun telah mengalami pemugaran total, baik makam maupun cungkupnya, tetapi dilihat dari silsilah tokoh tersebut, seharusnya merupakan salah satu makam tua juga yang sezaman dengan masa hidup Syekh Abdul Muhyi.
Di dalam silsilah keturunan Bupati Sukapura, Raden Yudanegara I ini disebutkan sebagai anak kedua Raden Tumenggung Anggadipa Wiradadaha III dan cucu Raden Adipati Wirawangsa Wiradadaha I, Bupati Sukapura yang memerintah pada paruh pertama abad XVII.
Menurut silsilah itu, almarhum adalah juga ipar Syeikh Abdul Muhyi, karena yang terakhir ini mengawini adiknya yang bungsu: R. Ajeng Halimah atau disebut juga Ayu Salamah. Penempatan kuburnya di Pamijahan menjelaskan hubungan kekerabatan dengan Syeikh Abdul Muhyi.
Makam Syekh Abdul Muhyi sendiri berada di sebelah utara Makam Kidul, kompleks ini merupakan obyek utama di seluruh situs Pamijahan. Terletak di tebing sebelah utara Cipamijahan, makam ini seolah berada di atas bukit yang dikelilingi hamparan sawah yang subur. Di sekitar kompleks makam tumbuh pepohonan besar yang memberi kesan rindang dan teduh, suatu kondisi alamiah yang sangat mendukung fungsi kekeramatannya.
Selain Syekh Abdul Muhyi, pada kompleks ini terdapat kubur lain, yaitu R. Subamanggala Wiradadaha IV, yang dikenal sebagai ‘Dalem Pamijahan’, yang ditempatkan di sebelah timur kubur Syekh Abdul Muhyi ditandai oleh sebuah payung. Ia adalah anak sulung R. Tumenggung Anggadipa Wiradadaha III, salah seorang Bupati Sukapura.
Satu lagi makam di komplek ini adalah makam Syekh Khotib Muwahid terletak di bagian hulu Cipamijahan, tepatnya pada tebing sebelah utara. Makam terakhir ini harus terlebih dahulu melalui gua Saparwadi. Seperti juga makam lain, bangunan makam dan cungkupnya cukup megah dengan pintu gerbang menyerupai bentuk kurawal atau seperti mihrab pada sebuah masjid besar.
Menurut silisilahnya, Syekh Khotib Muwahid mempunyai hubungan khusus dengan Syekh Abdul Muhyi, selain sepupu juga menjadi ipar Syekh Abdul Muhyi, karena ia adalah anak Nyi Raden Kasimpen, kakak kandung Lebe Warta. Yang terakhir ini adalah ayah Syekh Abdul Muhyi. Hubungan ipar ditentukan oleh perkawinannya dengan Nyai Kodrat, yang tidak lain adik kandung Syekh Abdul Muhyi.
Berbeda dengan riwayat keturunannya, aktivitas keagamaan Syekh Abdul Muhyi tidak banyak informasi diperoleh. Dalam kedudukannya sebagai penyebar Islam, kisahnya sulit dilacak. Hal ini barangkali disebabkan karena pada umumnya para ulama, apalagi jika ia telah mencapai derajat ‘wali’, hal-hal yang bersifat popularitas sangat dihindari, sehingga kehidupan keagamaannya selalu berkembang dari legenda ke legenda dan dari mitos ke mitos.
Demikian pula dengan Syekh Abdul Muhyi. Kebanyakan informasi diperoleh dari legenda-legenda atau tradisi lisan masyarakat Pamijahan atau para murid dan penganut disiplin Satariyah. Dalam tradisi setempat, Abdul Muhyi datang ke Pamijahan melalui Darma, Kuningan.
Pengetahuan agamanya diperoleh setelah berguru kepada Sunan Giri. Kemudian dilanjutkan dengan berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkel, salah seorang ulama Aceh terkemuka pada abad XVII yang dimakamkan di Kuala Aceh dan terkenal sebagai guru tarekat Satariyah. Lebih dari itu, dilihat dari genealoginya, Syekh Abdul Rauf Singkel juga adalah keturunan Nabi yang ke-13 dari garis Hasan, putera Fatimah.
Pertemuannya dengan Syekh Abdul Rauf Singkel inilah yang memungkinkannya kemudian sampai di Baghdad dan berhasil mewarisi ajaran Abdul Qadir Jaelani, yang terkenal sebagai pengasas tarekat Qadariyah Naqsabandiyah. Derajat kewalian Syekh Abdul Muhyi semakin kuat, karena antara Nabi dan dirinya terdapat urutan tokoh yang menjadi salah satu dari ‘Wali Songo’, yaitu Sunan Ampel dan Sunan Giri. Sekembalinya ke tanah air, ia diperintahkan gurunya di Aceh untuk menemukan sebuah gua yang serupa dengan gua tempat tirakatnya Abdul Qadir Jaelani.
Setelah bertahun-tahun menelusuri daerah pedalalaman Jawa Barat bagian tenggara, akhirnya ia sampai di Pamijahan. Gua yang ditemukannya di desa itu diberi nama Munajat, dan mendirikan kampung dinamai Saparwadi. Tetapi di kemudian hari kampung itu lebih dikenal dengan nama Pamijahan, istilah yang diberikan untuk menandai kedatangan banyaknya peziarah seperti ikan yang bertelur di gua Saparwadi.
Keberadaan makam dan tempatnya melakukan tirakat di Gua Saparwadi, di tepi sungai Pamijahan, telah menjadi bukti konkrit dari akhir perjalanan hidupnya yang diabdikan untuk menyebarkan ajaran agama dan menjaga moral masyarakat yang pada waktu itu sedang berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Belanda setelah kekalahan Kesultanan Mataram.

KAMPUNGKU


Kampung Adat Mahmud


Kampung Mahmud mempunyai jumlah penduduk sekitar 200 kepala keluarga yang menempati daerah seluas 4 hektar, dengan mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Pendiri Kampung Mahmud adalah Embah Eyang Abdul Manaf keturunan dari Syarif Hidayatuliah seorang wali yang berasal dari Cirebon. Beliau meninggalkan kampung halamannya menuju ke tanah suci Mekah untuk beberapa saat. Sampai pada suatu saat dia memutuskan untuk kembali ke tanah airnya. Sebelum kembali dia merasakan satu firasat bahwa negerinya akan dijajah oleh bangsa asing (Belanda). Oleh karena itu, sebelum pulang dia berdoa secara khusus di satu tempat yang dinamakan Gubah Mahmud yang berdekatan dengan Masjidil Haram. Sesuai dengan petunjuk yang didapatkannya di Gubah Mahmud, dia segera mencari rawa. Pencarian berakhir setelah ditemukan lahan rawa yang terdapat di pinggiran Sungai Citarum. Karena akan dijadikan lahan perkampungan, rawa tersebut kemudian ditimbun. Satu persatu rumah bermunculan sehingga membentuk sebuah kampung. Kampung tersebut selanjutnya diberi nama Mahmud, nama yang sama dengan tempat Eyang Manaf berdoa ketika berada di Mekah, yakni Gubah Mahmud.
 
Masyarakat Kampung Mahmud sangat mencintai dan menghormati leluhurnya. Sebagai bukti kecintaan, penghargaan, dan penghormatan terhadap para leluhur, mereka memelihara makamnya dengan baik, bahkan menempatkannya sebagai makam keramat yang senantiasa diziarahi oleh mereka. Selain itu tidak adanya kesan yang menonjol atau menarik perhatian dari perkampungan Mahmud dan suasana perkampungan yang hening, pada zaman Belanda Kondisi ini dimanfaatkan untuk tempat persembunyian yang aman oleh penduduk daerah sekitar dari para penjajah yang datang ke tanah air.
 
Eyang Abdul Manaf mempunyai 7 generasi penerus hingga sekarang ini, yaitu di antaranya: Eyang Sutrajaya, Eyang Inu, Eyang Mahmud lyan, Eyang Aslim,Eyang Kiai H.Zaenal Abidin, Kiai H.Muhamad Madar dan H. Amin, Secara administratif Kampung Mahmud termasuk ke dalam wilayah Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Posisi tepatnya, Kampung Mahmud berada di RW 04, dengan hanya dua RT di dalamnya, yakni RT 01 dan RT 02. Tempat ini cukup mudah dijangkau dari Kota Bandung, baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Ada beberapa alternatif rute yang dapat ditempuh menuju Kampung Mahmud, khususnya, dengan kendaraan umum. Pertama, dari terminal Kebun Kelapa menggunakan angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa -Cibaduyut, lalu berhenti di terminal Tegallega. Dari terminal tersebut, menggunakan angkutan kota dengan rute Tegallega-Mahmud, kemudian berhenti di lokasi Kampung Mahmud. Di bawah pukul 09.00 WIB, angkutan tersebut biasanya hanya sampai Bumi Asri I. Untuk melanjutkan perjalanan ke Kampung Mahmud, tersedia delman atau ojeg. Alternatif kedua, dari terminal Kebun Kelapa menggunakan angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa - Cibaduyut, lalu turun di terminal Leuwi Panjang. Dari terminal itu naik angkutan kota dengan jurusan Cipatik, lalu berhenti di Rahayu. Selanjutnya naik ojeg menuju Kampung Mahmud. Perjalanan melalui kedua rute tersebut menghabiskan waktu lebih kurang 90 menit.

Sabtu, 27 April 2013

KALENDER ISLAM


Idul Fitri dalam kalender Masehi

Dalam kalender Islam, penetapan hari Idul Fitri selalu sama setiap tahunnya, hal ini berbeda dalam kalender Masehi yang selalu berubah dari tahun ke tahun. Dalam kalender Islam penetapan hari ialah berdasarkan fase bulan (kalender lunar), sedangkan kalender Masehi berdasar fase bumi mengelilingi matahari (kalender solar). Perbedaan inilah yang menyebabkan penetapan Idul Fitri selalu berubah di dalam kalender Masehi, yakni terjadi perubahan 11 hari lebih awal setiap tahunnya. Perkiraan hari Idul Fitri dalam kalender Masehi ialah sebagai berikut:
HijriahMasehi
141027 April 1990
141116 April 1991
14124 April 1992
141325 Maret 1993
141414 Maret 1994
14153 Maret 1995
141621 Februari 1996
14179 Februari 1997
141830 Januari 1998
141919 Januari 1999
14208 Januari 2000
142127 Desember 2000
142216 Desember 2001
14236 Desember 2002
142425 November 2003
142514 November 2004
14263 November 2005
142724 Oktober 2006[14]
142813 Oktober 2007
14291 Oktober 2008
143021 September 2009
143110 September 2010[15]
143231 Agustus 2011[16]
143319 Agustus 2012
14348 Agustus 2013
143529 Juli 2014
143619 Juli 2015
14377 Juli 2016
143826 Juni 2017
143915 Juni 2018
14405 Juni 2019
144124 Mei 2020
144213 Mei 2021
14432 Mei 2022